Belajar dari Rizki :)

Belajar bisa dimana saja dan darimana saja sekalipun itu datang dari anak kecil. Sebuah momen berharga bagi saya bisa menghabiskan waktu bersama kumpulan orang orang baik. Sebut saja Rusa, yang pasti ini bukan tentang hewan berkaki 4 dan bertanduk melainkan sebuah nama komunitas. Rusa adalah singkatan dari Rumah Sahabat yang merupakan kelompok belajar di bawah bentukan sebuah paguyuban beasiswa di kampus IPB. Adik-adik Rusa berasal dari tingkatan kelas yang beragam, paling muda adalah kelas 0 alias belum sekolah dan yang paling tua adalah kelas 6 SD. Satu hal yang membuat saya tertarik untuk mengikuti komunitas ini selain karena beasiswa yang saya terima adalah karena misi nya yang menurut saya sangat mulia dan tanpa pamrih. Saya berharap keberadaan Rusa ini dapat menjadi ladang amal dan tempat saya belajar banyak hal tentang kemanusiaan.  
Ahad, 4 Juni 2017 saya dan teman-teman komunitas Rusa sedang mengadakan kegiatan donasi kepada beberapa Yayasan Panti Asuhan di Bogor dan acara buka bersama dengan adik-adik yatim sekitar kampus. Adalah Rizki, seorang anak kelas 4 SD yang menarik perhatian saya saat itu. Pribadi yang selalu ceria dan penuh dengan pertanyaan. Rizki dengan logat sunda dan nada bicaranya yang khas selalu membuat saya sendiri tertawa dibuatnya. Gaya bicaranya lugas, padat, lantang, dan tertata. Bukan kali pertama saya bertemu Rizki, diantara anak-anak yang lain Rizki memang lebih sering main ke sekret Rusa untuk sekedar mengisi kebosanan di rumah, numpang tidur, atau bertegur sapa dengan kaka-kaka mahasiswa yang lain. Saat itu saya banyak melakukan percakapan dengan Rizki sambil menunggu adzan maghrib. Mulai dari tugas sekolah, teman-teman di kelas, pelajaran yang paling disukai, dan banyak hal. Lalu sampailah pada momen dimana saya iseng bertanya apakah anak ini juga sholat terawih selain hanya menunaikan puasa di bulan Ramadhan ini. Ternyata keisengan saya justru menampar balik saya sendiri ketika mendengar jawabannya.
“Jelas sholat dong ka, Jay sholat 23 rokaat. Jay kan masi muda, masi kuat, masa pilihnya yang dikit dikit, malu ih sama Allah..” jawabnya sederhana dan begitu ia memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Jay. Entah dari mana nama Rizki bisa menjadi Jay, tapi yang pasti dengan penuh kebanggaan ia menjawab keisengan saya saat itu.
Terlepas dari pendapat jumlah rokaat yang tidak saya permasalahkan di sini, saya hanya menilai bahwa seorang anak kecil saja sudah berfikir seperti itu. Ditambah temannya yang mendengar percakapan kami menimpali,
“Jay rajin ka, kalo terawih di depan terus pake peci putih !” ujar Iki teman Rizki.
Wah, saya tambah kagum dan sedikit malu sendiri mendengarnya. Tapi dari Rizki ini saya menyimpulkan hal sederhana yang secara tidak langsung menegur saya dan bahkan mungkin menjadi pelajaran juga untuk kita semua untuk berfikir lebih baik. Semoga Rizki bisa konsisten dengan prinsipnya dan di masa kecil seperti ini adalah memang momen paling tepat untuk menanamkan hal baik kepada mereka. Saya sangat tidak menyesal melakukan percakapan dengan mereka, meski pada akhirnya saya sendiri yang dibuat malu heheheh. Terkadang mahasiswa yang katanya intelek sekalipun tidak sejernih itu berfikir, ditambah kabar yang saya dapat lagi, Rizki tidak pernah absen Terawih dan puasanya penuh belum bolong, saya tambah kagum dengan Rizki. Di tengah-tengah kehidupan modern dan berbalut teknologi yang terus berkembang mewarnai generasi mereka, ternyata saya masih menemukan anak dengan pola pikir seperti Rizki.
Sesederhana itu bisa bahagia sekali melakukan percakapan berfaedah dengan seorang anak kecil. Saya senang tahun ini lebih banyak terlibat pada kegiatan-kegiatan baik, tidak hanya memperbaiki hubungan dengan sang pencipta tapi juga dengan sesama makhluk Allah. Inginnya saya memanfaatkan momen bulan suci ini dengan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya karena saya juga tidak bisa jamin akan merasakan momen yang lebih baik di tahun-tahun selanjutnya. Saya banyak evaluasi dan introspeksi diri atas kesibukan duniawi yang rasanya menjadi makanan sehari-hari di tahun sebelumnya. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kampus dan bergelut dengan tugas-tugas kuliah. Bisa dibilang hampir setiap hari kejar-kejaran dengan jam buka dan lebih sering solat terawih sendiri di kamar dengan angka paling sedikit agar cepat kembali menyelesaikan tugas kuliah, seakan saya diperbudak oleh urusan dunia. Hati ini sebenarnya jujur. Menegur dengan caranya berupa tindak tanduk yang gelisah. Menandakan ada sesuatu yang tidak bisa diterima. Jawaban Rizki saat itu terngiang dan seakan selalu mengingatkan saya, bahwa selagi muda manfaatkan waktu beribadah dengan baik, kalau sudah berumur siapa yang bisa jamin ibadahnya akan lebih baik. Ditambah lagi, setelah saya menyadari satu hal bahwa ternyata banyak pencapaian baik yang justru terjadi pada diri saya di tahun ini, lantas saya pun malu. Mengapa berjuta kenikmatan ini tidak disikapi dengan tanda terima kasih yang lebih baik? Sungguh sebuah syukur yang harus saya maknai dengan dalam, ketika Allah masih sedemikian rupa memberikan saya kesempatan untuk lebih baik di tahun ini, mempertemukan saya dengan Rizki, mengantarkan saya pada percakapan sederhana yang berkesan, dan mengajak saya untuk terus beramal lebih baik dari tahun sebelumnya. Semoga kita semua selalu dituntun di jalan yang Allah Ridhoi J *sekian*


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Studi di Thailand part 2 : Pembuatan SKCK

Mengapa stainless steel dan aluminium tidak mudah berkarat?

Studi di Thailand : Persiapan Keberangkatan Part 1